Strategi Pembelajaran Budaya dan Sistem Kepercayaan Masyarakat Bugis, Dari Mitos Ke Logos, Dan Fungsional (suatu Tinjauan Filsafat Budaya C.A. van Peursen)

https://doi.org/10.30605/onoma.v7i2.1818

Authors

  • Sunarni Yassa Universitas Cokroaminoto Palopo
  • Muhammad Hasby Universitas Cokroaminoto Palopo
  • Edi Wahyono Universitas Cokroaminoto Palopo

Keywords:

Budaya, Mitos, Ontologi, Fungsional.

Abstract

Perkembangan budaya dan kepercayaan masyarakat Bugis, tidak terlepas dari peran dan fungsi mitologi,  meskipun mitos tidak memberikan bahan informasi kepada manusia bahwa kekuatan-kekuatan ajaib itu seperti apa bentuknya, tetapi minimal dapat membantu manusia agar mampu menghayati daya-daya itu sebagai kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam kehidupan.  Menurut C. A. van Peursen strategi dalam memahami perkembangan budaya terbagi dalam tiga tahap, yakni; tahap mitis, tahap ontologis, dan tahap fungsional. Pada masyarakat Bugis dalam tahap mitis telah nampak di periode Galigo yang menggambarkan gejala-gejala metafisik tentang awal-mula terciptanya dunia, dan bagaimana Dewa di langit menempatkan penguasa di muka bumi. La Toge’ Langi’ (Batara Guru) yang diturunkan di Ware’ Luwu dan mempunyai kekuasaan mutlak.  Masyarakat Bugis pada tahap ontologis, telah terdapat konsep-konsep Dewa tertinggi yang disebut To-Palanroe, hal ini terdapat pada kaum To-Lotang di Sidrap. Kemudian kepercayaan seperti itu juga terdapat di Kajang yang disebut kepercayaan Patuntung yang dipimpin oleh seorang pemimpin kepercayaan yang disebut Amma-toa (ayah tertua), konsep dewa tertinggi mereka disebut Turie a’ra’na (Orang yang berkehendak). Dalam prosesi penyembahan terhadap Dewata, bissu dapat memiliki posisi di luar sistem kemasyarakatan dengan berperan sebagai pendeta, dukun, serta ahli “ritual trance” (kemasukan oleh roh), dalam bahasa Bugis disebut asoloreng, ia adalah penghubung antara umat manusia dengan dunia Dewa. Kemudian ditahap fungsional, budaya masyarakat Bugis dapat dilihat dalam hal kepemimpinannya, walaupun tidak memiliki satu pemimpin (raja) yang sama, tetapi mereka membuat persahabatan yang mereka sepakati, yang dapat mempersatukannya.

 

 

Downloads

Download data is not yet available.

References

Anwar, Idwar. 2009. Macca; Sejarah dan Kebudayaan Luwu. Ujung Pandang: Pustaka Sawerigading.

___________, 2017. Ensiklopedia Sejarah Luwu. Ujung Pandang: Pustaka Sawerigading.

Bakker, Anton dan Charris Zubair, Ahmad. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Bandung, AB. Takko. 2016. To Manurung, Asal-usul Manusia. Yogyakarta: Ombak.

Koentjaraningrat, 2015. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Mattulada. 1995. Latoa Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Makassar: Hasanuddin University Press. Hasanuddin University Press.

Suparman, S., & Charmilasari, C. (2017). Analysis of Phase Structure Realization in Classroom Discourse: A Study of Systemic Functional Linguistics. Ethical Lingua: Journal of Language Teaching and Literature, 4(2), 120-126.

Suparman, S. (2014). Prosesi Ritual Pascapemakaman Masyarakat Tangru Kecamatan Malua Kabupaten Enrekang. Prosiding, 1(1), 163-167.

Suparman, S., Madeamin, S., & Beta, P. (2018). Dokumentasi tradisi lisan Tana Luwu melalui film dokumenter.

Suparman, N. F. N. (2020). Struktur Wacana Berita Politik Surat Kabar Palopo Pos. UNDAS: Jurnal Hasil Penelitian Bahasa dan Sastra, 16(2), 141-156.

Suparman, N. F. N. (2019). Inovasi Leksikal Bahasa Wotu. Ranah: Jurnal Kajian Bahasa, 8(2), 219-236.

Sarapang, Simon Sirua. 2016. Museum Batara Guru. Ujung Pandang: Pustaka Sawerigading.

Peursen, C.A. van, 2018. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Published

2021-11-30

How to Cite

Sunarni Yassa, Muhammad Hasby, & Edi Wahyono. (2021). Strategi Pembelajaran Budaya dan Sistem Kepercayaan Masyarakat Bugis, Dari Mitos Ke Logos, Dan Fungsional (suatu Tinjauan Filsafat Budaya C.A. van Peursen). Jurnal Onoma: Pendidikan, Bahasa, Dan Sastra, 7(2), 797–813. https://doi.org/10.30605/onoma.v7i2.1818

Issue

Section

Articles